17/05/2016

Kelas XI/2 : Paticcasamuppada






Hukum sebab-musabab yang saling bergantungan dalam bahasa Pali disebut paticcasamuppada.      Pemahaman hukum ini merupakan hal yang sangat mendasar dalam pengajaran Buddha Dharma. Hukum ini telah ada di alam semesta tanpa kemunculan seorang Buddha sekalipun.
Hukum ini bukanlah ciptaan/rekayasa seorang Samma Sambuddha. Namun, sebagaimana semua Dharma, memang hanyalah seorang Samma Sambuddha yang mampu   menyingkapkannya. Sebelum kemunculan seorang Samma Sambuddha, hukum paticcasamuppada belum pernah terdengar dalam pengajaran mana pun.
Pembabaran paticcasamuppada bertujuan untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, di mana tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Jika kita mempelajari Hukum Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan terbebas dari pandangan salah dan dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya.

Rumusan Hukum Paticcasamuppada
Secara singkat, Hukum paticcasamuppada dapat dirumuskan sebagai berikut:

Imasming sati idang hoti,
Imassuppada idang uppajjati,
Imasming asati idang na hoti,
Imassa nirodha idang nirujjati

Artinya
Dengan adanya ini, maka adalah itu,
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu,
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu,
Dengan padamnya ini, maka padamlah itu.

Rumusan singkat di atas mengandung makna yang sangat dalam. Dalam rumusan di atas, kata  timbul” tidak sama dengan kata “ada”, dan kata “padam” tidak sama dengan kata “tidak-ada”.  apabila salah satu kalimat di atas tidak ada, rumusan tersebut tidak mencerminkan kaidah

Dua Belas Nidana
Paticcasamuppada dalam Nidana Vagga, Samyutta Nikaya, diuraikan dalam dua model sebagai kemunculan dukkha dan padamnya dukkha. Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari dua belas nidana (sebab-musabab):

1. Ketidaktahuan (avijja)
Ketidaktahuan atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kotoran batin, seluruh perbuatan jahat (akusala). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan, perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun jasmani tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari dua belas mata rantai paticcasamuppada.
Meskipun demikian, kebodohan tidak seharusnya dianggap sebagai prima causa atau mula pertama, ataupun pokok asal dari makhluk. Tentu saja ia bukan penyebab utama, dan tak ada gambaran mengenai penyebab pertama dalam pemikiran Buddhis. Pada diagram paticcasamuppada, avijja disimbolkan orang buta yang berjalan dengan tongkat. Simbol ini bermakna orang yang gelap batinnya yang tidak bisa melihat kebenaran.

2. Bentuk-Bentuk Karma (sankhara)
Avijja paccaya sankhara, “dengan bergantung pada kebodohan, timbullah bentuk-bentuk karma yang menghasilkan kelahiran kembali“. Istilah sankhara juga memiliki arti yang lain. Dalam kalimat, “sabbe sankhara anicca“ atau “anicca vata sankhara“ (segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur adalah tidak kekal), istilah “sankhara“ digunakan untuk segala sesuatu yang merupakan paduan unsur dan terkondisi, misalnya semua yang menjadi makhluk sebagai akibat dari sebab dan kondisi, dan apa yang mereka lakukan sebagai sebab dan kondisi berputar kembali untuk menghasilkan akibat yang lain.
Dalam paticcasamuppada, bagaimanapun juga, arti dari sankhara hanyalah terbatas pada aktivitas baik dan jahat (kusala-akusala karma), semua perbuatan, melalui jasmani, ucapan, dan pikiran (kaya sankhara, vaci sankhara dan citta sankhara) yang menghasilkan reaksi.
Sankhara disimbolkan sebagai pembuat pot dan berbagai jenis pot. Ada pot yang utuh dan ada pot yang pecah. Ini melambangkan bentukan-bentukan kehendak yang akan menghasilkan perbuatan yang baik atau buruk melalui pikiran, ucapan, maupun perbuatan jasmani. Pot pecah melambangkan karma yang telah berbuah dan pot utuh melambangkan karma yang belum berbuah.

3. Kesadaran (vinnana)
Sankhara paccaya vinnanam, “bergantung pada bentuk-bentuk karma yang menghasilkan kelahiran kembali (milik kelahiran yang lampau), timbullah kesadaran (kesadaran yang menyambung kembali kehidupan)“. Dengan kata lain, bergantung pada karma atau perbuatan baik dan jahat di masa lampau, terkondisi kesadaran dalam kehidupan yang sekarang. Karena itulah, kesadaran merupakan factor pertama (nidana), yang pertama dari urutan kondisi kehidupan yang dimiliki kehidupan yang sekarang.
Avijja dan sankhara, ketidaktahuan dan bentuk-bentuk karma, milik kehidupan yang lampau, bersama-sama membentuk vinnana, kesadaran dalam kelahiran sekarang. Dalam Maha Nidana Sutta, Digha Nikaya, dinyatakan, “Ketika kegelapan batin dan nafsu keinginan dimusnahkan, perbuatan baik dan jahat tidak lagi terjadi dalam diri makhluk hidup.
Sebagai akibatnya, kesadaran untuk lahir kembali tidak lagi muncul dalam kandungan seorang ibu.” Karena itu, jelaslah bahwa seseorang dilahirkan kembali akibat perbuatan baik dan jahatnya sendiri, dan bukan pekerjaan dari makhluk gaib, sosok pencipta, ataupun terjadi karena kebetulan semata-mata.
Vinnana disimbolkan kera yang berayun dari pohon ke pohon yang banyak buahnya. Simbol ini melambangkan kesadaran yang merupakan penyambung dari satu momen kesadaran ke momen kesadaran berikutnya. Dapat juga berarti kesadaran yang menyambungkan dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya saat kematian.

4. Batin dan Jasmani (nama-rupa)
Vinnana paccaya nama rupam, “bergantung pada kesadaran, timbullah batin dan jasmani“. Istilah nama di sini berarti corak batin (cetasika), dengan kata lain, tiga kelompok batin, yaitu: perasaan (vedanakkhandha), pencerapan (sannakkhandha), bentuk-bentuk pikiran atau bentuk-bentuk karma atau mental (sankharakkhandha).
Yang disebut sebagai makhluk (satta/sattva) tersusun dari lima agregat atau kelompok (pancakkhandha), yaitu : tubuh jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran (rupa, vedana, sanna, sankhara dan vinnana). Jika kesadaran dianggap sebagai batin, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran adalah sekutu atau unsur-unsur batin. 
Ketika kita mengatakan bergantung pada kesadaran, timbullah nama rupa, batin dan jasmani. Jasmani berarti tubuh fisik, organorgan tubuh, kemampuan dan fungsinya. Batin berarti unsur batin yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, vinnana paccaya nama rupam berarti bergantung pada kesadaran, timbullah tiga sekutu batin (perasaan, pencerapan, dan bentuk-bentuk pikiran) yang membentuk batin seiring dengan tubuh jasmani dalam tahap awal suatu janin.
Nama - rupa disimbolkan dua orang menaiki perahu yang didayung oleh tukang perahu. Ini melambangkan batin dan jasmani yang bersama-sama mengarungi kehidupan, namun tidak mengendalikan ke mana tukang perahu akan membawa mereka.

5. Enam Landasan Indra (salayatana)
Nama rupa paccaya salayatanam, “bergantung pada batin dan jasmani timbullah enam landasan indra. Enam indra terdiri atas lima indra jasmani, mata, telinga, hidung, lidah dan jasmani, dan satu indra pikiran (manayatana). Manayatana adalah bentuk gabungan dari beberapa golongan kesadaran yang berbeda, seperti, lima jenis kesadaran indra dan berbagai jenis kesadaran batin. Dengan demikian, kelima indra merupakan perwujudan jasmani, seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan jasmani dan yang keenam pikiran sama dengan kesadaran.
Jika tidak ada nama rupa (batin dan jasmani), tidak ada salayatana (enam landasan indra) yang dapat muncul. Karena rupa (indra jasmani) mata, telinga dan seterusnya muncul, dan karena manayatanalah (jenis lain dari kesadaran) indra jasmani berfungsi. Demikianlah, nama rupa dan salayatana saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain. Enam landasan indra disimbolkan rumah yang memiliki enam jendela.

6. Kontak (phasa)
Salayatana paccaya phasso, “bergantung pada enam landasan indra, timbullah kontak“. Menurut dalil di atas, kita melihat enam landasan indra atau ayatana, mata, telinga, dan seterusnya; merekaadalah landasan indra dalam (ajjatika ayatana). Di luar tubuh seseorang, terdapat lima objek indra yang terkait, bentuk, suara, bau, rasa, dan sentuhan, lebih jauh lagi objek batin. Ini dikenal sebagai enam landasan indra luar (bahira ayatana). Indra luar ini adalah makanan bagi indra dalam manusia. Karena itulah, mereka saling berhubungan. Walaupun ada hubungan fungsional antara enam indra ini dengan objeknya, pengetahuan menjelma bersama vinnana atau kesadaran.
Oleh sebab itulah, dikatakan, “jika kesadaran timbul karena mata dan bentuk penglihatan, ini disebut sebagai kesadaran penglihatan“. Ketika mata dan bentuk muncul keduanya, bergantung padanya timbul kesadaran penglihatan. Serupa dengan telinga dan suara, dan sebagainya, sampai pada pikiran dan objek batin (ide). Pada saat ketiganya, mata, bentuk dan kesadaran mata atau kesadaran penglihatan muncul bersamaan, peristiwa ini disebut “kontak“ (atau kesan-kesan). Dari kontak, muncullah perasaan, dan seterusnya. Kontak disimbolkan sepasang pemuda dan pemudi yang sedang bercumbu. Ini melambangkan kontak atau pertemuan antara enam landasan indra dengan objeknya masing-masing.

7. Perasaan (vedana)
Phassa paccaya vedana, “bergantung pada kontak timbullah perasaan“. Perasaan terdiri atas enam jenis:
a. perasaan yang timbul karena kontak mata
b. perasaan yang timbul karena kontak telinga
c. perasaan yang timbul karena kontak hidung
d. perasaan yang timbul karena kontak lidah
e. perasaan yang timbul karena kontak jasmani
f. perasaan yang timbul karena kontak pikiran.

Perasaan mungkin berupa kesenangan (sukha), penderitaan (dukkha), ataupun netral, seperti tidak menyenangkan atau menyakitkan (adukkhama sukha = upekkha). Seperti yang telah didalilkan sebelumnya, objek-objek indra tidak pernah dapat diketahui melalui kepekaan khusus tanpa jenis kesadaran yang sesuai. Tetapi ketika ketiga faktor ini bergabung, timbullah kontak. Dengan timbulnya kontak, timbullah perasaan (vedana) secara bersamaan dan tidak pernah dapat dihentikan oleh kekuatan atau tenaga apa pun.
Itulah sifat dari kontak dan perasaan. Dengan mengalami hasil karma yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan dari perbuatan baik dan jahat yang dilakukan di kelahiran yang sekarang ataupun kelahiran yang lampau, merupakan satu dari kondisi-kondisi sebelumnya yang terjadi yang dapat menimbulkan perasaan Dengan melihat suatu bentuk, mendengar suara, menciumaroma, mengecap rasa, menyentuh suatu benda nyata, menyadari objek pikiran (ide) manusia mengalami perasaan; tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semua makhluk mengalami perasaan yang sama dengan objek yang sama.
Sebuah objek, contohnya yang mungkin dirasakan menyenangkan oleh seseorang bisa jadi dirasakan tidak menyenangkan oleh orang lain, dan netral oleh orang lain yang tak terpengaruh. Perasaan mungkin juga berbeda menurut keadaan. Perasaan disimbolkan orang yang terkena anak panak di mata nya. Akibat kontak antara kesadaran, objek, dan indra, timbul perasaan. Perasaan dapat membutakan dan membuat celaka jika tidak ada pengendalian diri.

8. Nafsu Keinginan (tanha)
Vedana paccaya tanha, “bergantung pada perasaan timbullah nafsu keinginan“. Keinginan memiliki sumber, berasal dari perasaan. Seluruh bentuk nafsu tercakup dalam tanha. Keserakahan, kehausan, rangsangan, hawa nafsu, kegairahan, hasrat, kerinduan, dorongan cinta, cinta keluarga, adalah beberapa istilah yang menunjukkan tanha, yang dikatakan oleh Buddha merupakan penuntun dari suatu penjelmaan (bhavanetti).
Penjelmaan yang berwujud sebagai dukkha, sebagai penderitaan, kekecewaan, pencetus hal yang menyakitkan, adalah pengalaman kita sendiri. Musuh dari seluruh dunia adalah hawa nafsu atau keinginan (yang rendah) melaluinyalah kejahatan menjelma dalam diri manusia. Melalui pemahaman yang jernih mengenai nafsu keinginan, asal mula nafsu keinginan, lenyapnya nafsu keinginan, jalan menuju lenyapnya nafsu keinginan, seseorang menguraikan kekusutan ini. 
Lalu, apakah nafsu keinginan itu? Nafsu keinginan inilah yang menyebabkan penjelmaan kembali, kelahiran kembali, yang disertai dengan kenikmatan hawa nafsu dan penemuan kesenangan baru pada masa sekarang dan selanjutnya, yaitu: keinginan akan kesenangan indra (kama tanha), keinginan untuk terus berlangsung (bhava tanha) dan keinginan untuk tidak berlangsung (vibhava tanha).
Di manakah nafsu keinginan timbul dan berakar? Di mana ada kegembiraan dan kenikmatan, di sanalah nafsu keinginan timbul dan berakar. Bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan jasmani dan ide merupakan kegembiraan dan kenikmatan, di sanalah nafsu keinginan timbul dan berakar. Nafsu keinginan disimbolkan orang mabuk yang terus minum. Ini melambangkan nafsu keinginan yang tidak kenal puas, menuruti terus dan terus meski membahayakan.

9. Kemelekatan (upadana)
Tanha paccaya upadanam, “bergantung pada nafsu keinginan timbullah kemelekatan“. Keadaan batinlah yang melekat atau mengikat objeknya seperti sepotong kerak daging yang melekat pada panci bergagang. Karena kemelekatan ini, yang digambarkan sebagai keinginan yang tinggi kadarnya, manusia menjadi budak nafsu, dan terjerat dalam jaring yang telah dibuatnya sendiri dari nafsu terhadap kesenangan seperti ulat bulu melingkar kusut sendiri di tempat dia hidup. Kemelekatan atau ikatan (upadana), terdiri dari empat jenis, yaitu seperti berikut.
a. kemelekatan pada kesenangan-kesenangan indra atau nafsu indra (kama upadana)
b. kemelekatan pada pandangan yang salah dan jahat (ditthi upadana)
c. kemelekatan pada kepercayaan dan upacara takhayul (silabbata upadana)
d. kemelekatan pada ego, atau adanya roh yang kekal (attavada upadana).
e. kemelekatan disimbolkan kera yang memetik buah dan memegangnya erat-erat.

10. Penjadian (bhava)
Upadana paccaya bhavo, “bergantung pada kemelekatan, timbullah penjelmaan“. Penjelmaan terdiri atas dua jenis, dan harus dipahami sebagai dua proses: proses karma (karma bhava) dan proses tumimbal lahir akibat karma (upapatti bhava). Karma bhava adalah kumpulan perbuatan baik dan jahat, “sisi kehidupan dengan karma yang aktif“. Upapatti bhava adalah “sisi kehidupan yang netral secara moral dengan karma yang pasif“, dan berarti proses tumimbal lahir akibat karma di kehidupan yang selanjutnya. Dalam dalil pertama (avijja paccaya sankhara), sankhara dijelaskan sebagai perbuatan baik dan jahat (karma).
Jika demikian, tidakkah ini merupakan pengulangan dengan mengatakan bahwa karma bhava, yang disebutkan di sini, juga berarti perbuatan baik dan jahat? Paticcasamuppada yang harus kita pahami tidak hanya berhubungan dengan kehidupan sekarang, melainkan dengan tiga kehidupan seluruhnya: lampau, sekarang, dan masa depan.
Karma atau perbuatan baik dan jahat yang disebutkan dalam dalil pertama, milik kehidupan lampau dan kepada perbuatan di masa lampau itulah kehidupan sekarang bergantung. Karma yang dimaksud di dalam dalil ini, upadana paccaya bhavo, milik kehidupan sekarang dan pada gilirannya menyebabkan kehidupan di masa depan. Upadana paccaya bhavo berarti kemelekatan (upadana), adalah kondisi bagi proses karma, atau perbuatan dan proses tumimbal lahir akibat karma lalu. Penjadian disimbolkan perempuan hamil yang melambangkan proses munculnya eksistensi atau kelahiran ulang.

11. Kelahiran (jati)
Bhava paccaya jati, “bergantung pada penjelmaan timbullah kelahiran“. Di sini kelahiran tidak hanya berarti benar-benar peristiwa melahirkan, melainkan kemunculan dari lima agregat (bentukbentuk materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran) dalam kandungan ibu. Proses ini dikondisikan oleh karma bhava. Kelahiran sekarang dihasilkan dari nafsu keinginan dan kemelekatan pada kehendak berbuat (tanha upadana) dari kelahiran lampau, dan nafsu keinginan dan kemelekatan yang dilakukan dengan kesadaran di kelahiran sekarang akan menghasilkan kelahiran kembali di masa depan.
Menurut ajaran Buddha, kehendak berbuat inilah yang membagi makhluk hidup menjadi tinggi dan rendah. Makhluk hidup merupakan ahli waris dari perbuatannya, pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Perbuatannya merupakan rahim dari mana ia dilahirkan, dan melalui perbuatan mereka sendirilah mereka harus berubah demi kebaikan, memperbaiki diri dan memenangkan kebebasan dari kotoran batin. Kelahiran disimbolkan dengan wanita melahirkan yang melambangkan kelahiran ulang (tumimbal lahir) makhluk-makhluk.

12. Penuaan dan Kematian (jara marana)
Jati paccaya jaramaranam, “bergantung pada kelahiran timbullah pelapukan dan kematian“. Bersamaan dengan itu secara alami, timbullah kesedihan, keluh kesah, kesakitan, penderitaan dan keputusasaan. Kelahiran tak terelakkan diikuti oleh pelapukan dan kematian. Jika tak ada kelahiran, tak akan ada pelapukan dan kematian. Demikianlah seluruh bentuk penderitaan bergantung pada dua belas faktor ketergantungan. Pelapukan dan kematian diikuti oleh kelahiran, dan kelahiran sebaliknya diikuti oleh pelapukan dan kematian. Kehidupan duniawi tidak kekal, selalu berubah.
Orang membangun harapan kosong dan merencanakan hari depan, tetapi suatu hari, mungkin tiba-tiba dan tak diharapkan, datanglah saat yang tak terelakkan ketika kematian mengakhiri masa kehidupan yang singkat ini, dan menjadikan harapan kita sia-sia. Selama manusia terikat pada kehidupan melalui kegelapan batinnya, nafsu keinginan dan kemelekatan, baginya kematian bukan merupakan akhir. Ia akan melanjutkan karyanya dengan berputar mengikuti roda kehidupan, dan akan terjerat dan terkoyak di antara jari-jari roda penderitaan.
Demikianlah, di dunia sekeliling kita, melihat perbedaan pria dan wanita, dan perbedaan keberuntungan mereka yang beraneka ragam, kita mengetahui bahwa hal ini tidak dapat terjadi karena kebetulan semata-mata. Kekuatan luar atau perantara yang menghukum manusia untuk perbuatan jahatnya dan memberi pahala untuk perbuatan baiknya tidak memiliki tempat dalam pemikiran Buddhis. Umat Buddha tidak berupaya menyenangkan barang seseorang yang dihormati secara khusus atau berdoa pada suatu pribadi yang tak terlihat agar memberikan pembebasan bagi mereka.
Bahkan, Buddha yang Agung tidak dapat melepaskan mereka dari belenggu samsara. Dalam diri kita sendirilah terletak kekuatan untuk membentuk kehidupan kita. Umat Buddha adalah karmavidin, orang yang percaya pada keberhasilan perbuatan, baik dan jahat. Penuaan dan kematian disimbolkan orang tua yang memanggul mayat. Ini melambangkan proses penuaan dan kematian yang akan terjadi pada setiap makhluk yang telah lahir. Demikianlah seluruh rangkaian penderitaan timbul.
Dua yang pertama dari dua belas mata rantai ini berhubungan dengan kehidupan lampau. Delapan yang selanjutnya berhubungan dengan kehidupan sekarang, sedangkan dua yang terakhir berhubungan dengan kehidupan yang akan datang. Proses sebab dan akibat terus berlanjut tanpa batas. Permulaan proses ini tidak dapat ditentukan karena tidak mungkin untuk menyatakan di mana arus kehidupan ini mulai diliputi oleh kebodohan. Tetapi, bilamana kebodohan ini diubah menjadi pengetahuan dan arus kehidupan ini dialihkan ke Nibbana dhatu, terjadilah akhir proses kehidupan atau samsara ini.  Jika karena sebab timbul akibat, jika sebab berakhir, akibat juga akan berakhir.

Urutan balik paticcasamuppada akan membuat persoalan ini menjadi lebih jelas.   
1.  Berakhirnya kebodohan secara mutlak mengakibatkan berhentinya seluruh kegiatan kehendak.
2.  Berakhirnya seluruh kegiatan kehendak mengakibatkan berhentinya kesadaran tumimbal lahir.
3.   Berakhirnya kesadaran tumimbal lahir mengakibatkan berhentinya batin dan jasmani.
4.   Berakhirnya batin dan jasmani mengakibatkan berhentinya enam landasan indria.
5.   Berakhirnya enam landasan indra mengakibatkan berhentinya kontak.
6.   Berakhirnya kontak mengakibatkan berhentinya perasaan.
7.   Berakhirnya perasaan mengakibatkan berhentinya keinginan.
8.   Berakhirnya nafsu keinginan mengakibatkan berhentinya nafsu kemelekatan.
9.   Berakhirnya nafsu kemelekatan mengakibatkan berhentinya karma.
10. Berakhirnya karma mengakibatkan berhentinya kelahiran.
11.  Berakhirnya kelahiran mengakibatkan berhentinya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis.
12.  Berakhirnya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis maka berakhirlah tumimbal lahir. Demikianlah seluruh rangkaian penderitaan berakhir.


(Sumber : Buku Pendidikan Agama Buddha Dan Budi Pekerti, SMA/SMK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan ke-I, tahun 2014)


note :
Catatan di atas memerlukan perjelasan lebih lanjut. Untuk anak-anak ku usahakan rajin mengikuti kegiatan PBM tatap muka, jangan sering-sering ijin, apalagi Bolos. thx

No comments:

Post a Comment