Materi Kelas XI Semester 2
1. Catur Ariya Sacca
2. Karma dan Punabhava
3. Tilakkhana (Tiga Corak Universal)
4. Paticcasamuppada
5. Gambar Paticcasamuppada
31/05/2016
26/05/2016
Kelas XI/2 : Tilakkhana (Tiga Corak Universal)
1.
Pengertian
Tilakkhana adalah tiga corak umum atau universal,
menyeluruh, adalah kenyataan alam yang dihubungkandengan seluruh keberadaan
walaupun berbeda ruang dan waktu. Tiga corak umum memberikan sifat sejati dari
semua benda. Buddha mengajarkan bahwa semua keberadaan yang berkondisi
terpengaruh oleh tiga corak umum.
2.
Isi
Tilakkhana
Hukum
Tilakkhana ini termasuk hukum kesunyutaan yang berlaku dimana-mana dan pada setiap
waktu. Tilakkhana terdiri dari
1.
Anicca
Adalah
ketidak kekalan, segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal, selalu
berubah. Segala sesuatu yang berkondisi selalu diliputi oleh tiga rangkaian
ketidak kekalan berikut ini; uppada à
thiti à
bhanga. Yaitu terlihat munculnya, terlihat perubahannya, terlihat lenyapnya.
Fakta
mengenai ketidakkekalan berarti bahwa realitas tidak pernah dalam keadaan tetap
melainkan seluruhnya dinamis, dan bahkan ilmu pengetahuan modern pun menyadari
bahwa ini merupakan sifat dunia yang utama tanpa adanya pengecualian. Dalam
ajaran – Nya mengenai realitas yang dinamis, Buddha memberikan kepada kita
kunci utama untuk membuka pintu mana pun yang kita inginkan. Dunia modern
menggunakan kunci utama yang sama, tetapi hanya untuk kemajuan materiil, dan
pintu demi pintu terbuka dengan keberhasilan yang mengagumkan.
Perubahan
atau ketidakkekalan adalah sifat yang terpenting dari semua fenomena kehidupan.
Kita tidak dapat mengatakan bahwa barang apa pun, hidup atau mati, organic atau
anorganik, “ini adalah abadi.“ Bahkan sementara kita membicarakannya, perubahan
sedang berlangsung. Semua ini berlalu dengan cepat : keindahan bunga, kicau
burung, dengungan lebah, dan keagungan matahari yang terbenam.
“Misalkan
engkau sedang memandang indahnya matahari yang terbenam. Seluruh langit di
sebelah barat memancarkan cahaya yang berwarna merah : tetapi engkau sadar
bahwa dalam setengah jam semua warna yang cerah ini berangsur – angsur akan
hilang dari hadapan matamu, walaupun matamu tidak dapat mengenali sebelumnya
kesimpulan yang beralasan itu. Dan apakah kesimpulannya ? Kesimpulannya adalah
engkau tidak pernah dapat menyebutkan ataupun membayangkan, melihat suatu warna
yang kekal, warna apapun yang sebenarnya bahkan untuk waktu yang paling singkat.
Dalam perjutaan detik seluruh keagungan dari langit yang terlukis mengalami
rangkaian perubahan yang tak terhitung banyaknya. Satu perubahan digantikan
dengan yang lain dengan kecepatan yang membuat semua pengukuran tertinggal,
karena proses itu tidak dapat diukur….. akal sehat menolak untuk menahan
periode tertentu dari pemandangan yang berlalu itu, atau untuk mengungkapkan
begitu, karena kalaupun ada yang berusaha, seketika hal itu sudah tiada. Ini
merupakan rangkaian perubahan warna yang cepat, tiada satu pun darinya tetap
ada, karena semuanya secara terus menerus lenyap menjadi yang lain. “
2.
Dukkha
Yaitu tidak memuaskan,
penderitaan. Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak memuaskan, menimbulkan
ketidakpuasan, dll. Terdapat tiga jenis dukkha yaitu; dukkha dukkha, viparinama
dukkha, sankhara dukkha.
-
Dukkha-dukkha ; yaitu
dukkha biasa, dukkha yang umum yang biasa kita lihat dan rasakan secara
langsung. Contoh; sakit, sedih, marah, kehilangan dengan yang dicintai,
mendapatkan yang tidak diharapkan, dll.
-
Viparinama dukkha ;
yaitu dukkha yang bersifat laten, yang terdapat dalam sesuatu yang
membahagiakan sekalipun. Dukkha ini merupakan dukkha yang dapat muncul
sewaktu-waktu tanpa bisa kita mencegahnya. Contoh; seseorang anak yang sangat
menginginkan sepatu baru pasti sangat bahagia jika mendapatkan sepatu seperti
yang diinginkannya, namun dia tidak dapat menyuruh sepatu itu untuk terus
bersamanya dan terus bagus selamanya. Suatu saat sepatu itu bisa hilang atau
rusak, dan dari situ muncullah dukkha. Inilah viparinama dukkha
-
Sankhara dukkha ; yaitu
dukkha sebagai akibat dari keadaan berkondisi. Ini bisa diartikan bahwa segala
sesuatu itu hanya bersifat semu semata, inilah sankhara dukkha. Dapat kita
renungkan pernyataan yang sering kita dengar dalam salah satu film Buddhis
“kosong adalah isi, isi adalah kosong”. Artinya kosong dari inti namun isi/ada
dari bentukan gabungan unsur-unsur pembentuknya.
3.
Anatta
Yaitu
tanpa inti, tanpa jiwa. Anatta ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa tidak ada
roh atau jiwa yang kekal dalam diri manusia. Namun ini juga berlaku untuk semua
benda, tidakada satupun benda atau mahkluk di dunia ini yang memiliki inti.
Semua yang terbentuk merupakan gabungan dari unsure-unsur pembentuknya. Tidak
ada satu bendapun yang dapat berdiri sendiri dan jadi sendiri.
Ajaran agama Buddha
tentang tumimbal lahir ini harus dibedakan dari teori reinkarnasi yang
menyatakan perpindahan roh dan kelahiran kembali yang tetap. Agama Buddha
menolak adanya suatu roh kekal atau yang tidak berubah, yang diciptakan oleh
dewa yang maha kuasa atau yang keluar dari zat ilahi ( paramatma ).
Bila roh yang dianggap
sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu
perkembangan ataupun kemunduran. Di samping itu, orang tidak dapat mengerti
mengapa “ Berbagai roh dibentuk berbeda pada mulanya“.
Sang
Buddha telah mengetahui fakta-fakta
ini sekitar 2.500 tahun yang lalu. Menurut agama Buddha, kesadaran tidak lain
hanyalah suatu gabungan kompleks batin yang cepat berlalu. Satu unit kesadaran
terdiri dari tiga fase : timbul (Upad ), berkembang (Thit ) ,
dan lenyap (Bhang).
Segera
setelah fase-lenyap
dari satu saat pikiran berakhir, terjadilah fase-timbul pada saat pikiran berikutnya.
Setiap kesadaran dari proses kehidupan yang selalu berubah ini, setelah
berlalu, akan memindahkan seluruh tenaganya, seluruh rekaman kesan-kesan yang tak dapat
dihapus pada kesadaran penerusnya. Setiap kesadaran baru terdiri kesadaran
pendahulunya ditambah kesadaran yang baru. Karena itu, terdapat suatu aliran
kesadaran terus menerus seperti arus sungai. Saat pikiran berikutnya tidak
persis sama seperti pendahulunya, karena apa yang membentuknya tidak sama
ataupun sama sekali berbeda. Ia merupakan kelanjutan tenaga karma yang sama,
sehingga terdapat persamaan dalam proses.
Setiap
saat terjadi kelahiran, akan terjadi kematian. Timbulnya satu saat pikiran
berarti lenyapnya saat pikiran lain dan sebaliknya. Dalam perjalanan satu saat
kehidupan terjadi tumimbal-lahir
sementara tanpa roh.
Hal
tersebut tidak seharusnya dipahami bahwa kesadaran dipotong menjadi bagian-bagian yang
dirangkaikan bersama seperti sebuah kereta atau rantai. Tetapi sebaliknya, “Kesadaran
mengalir terus menerus ibarat sebuah sungai, yang terus menerus menerima
pertambahan arus dari anak sungai indria dan selalu membagikan kepada dunia
pikiran-pikiran yang telah
dikumpulkan di sepanjang jalan. Kesadaran memiliki kelahiran sebagai mata
airnya dan kematian sebagai muaranya. Arus kesadaran itu berlangsung demikian
cepatnya sehingga tak ada ukuran apa pun yang dapat dipergunakan untuk
mengukurnya walaupun hanya secara perkiraan. Akan tetapi, para komentator
berpendapat bahwa lamanya waktu dari satu gerakan pikiran kira-kira satu perjuta
bagian dari waktu yang diperlukan oleh cahaya kilat.
Di
sini kita dapatkan suatu penjajaran dari keadaan kesadaran yang begitu cepat
berlalu, bertentangan dengan anggapan sebagian orang. Sekali kesadaran telah
lenyap, ia tak akan kembali lagi serupa dengan apa yang telah lenyap
sebelumnya. Tetapi kita orang duniawi yang diliputi oleh kebodohan, salah
mengerti karena apa yang nampaknya tetap ini dianggap sebagai sesuatu yang
kekal dan malah menganggap bahwa kesadaran yang selalu berubah ini sebagai
suatu roh yang tidak berubah, suatu atta , sebagai pelaku dan
wadah dari semua perbuatan.
“
Apa yang disebut makhluk itu adalah misalnya seperti cahaya kilat yang berubah
menjadi rangkaian bunga api yang saling susul menyusul dengan kecepatan luar
biasa, sehingga mata manusia tidak dapat melihatnya satu persatu. Seperti roda
kereta yang terletak diatas tanah pada satu titik, demikian pula makhluk –
makhluk hanya hidup selama satu saat pikiran. Kehidupan selalu berada dalam
saat sekarang dan selalu tenggelam kedalam masa lalu yang tak dapat terulang
kembali. Keadaan kita dimasa yang akan datang ditentukan oleh saat pikiran
sekarang ini “.
Hubungan dari ketiga corak umum
Karena
segala sesuatu itu tidak memiliki ini (anatta),
maka tidak ada yang kekal, dan selalu berubah (anicca), maka jika dilekati akanmenimbulkan penderitaan (dukkha).
Setelah mengetahui pengertian dan
hubungan dari ketiga corak tersebut, hendaknya kita tidak lagi memiliki
kemelekatanyang berlebihan terhadap apapun, termasuk diri sendiri.
Semua paduan unsur,
yaitu segala sesuatu yang timbul sebagai akibat dari suatu sebab, dan yang pada
gilirannya kemudian menimbulkan akibat, dapat dinyatakan dalam satu kata
anicca, ketidakkekalan. Oleh karena itu, semua sifat hanyalah merupakan variasi
yang terbentuk dari paduan ketidakkekalan, penderitaan ( ketidakpuasan ), dan tanpa
diri atau inti : anicca, dukkha dan anatta.
Tidak kentara,
ketiga corak kehidupan tersebut tetap mengelabui dunia ini sampai Buddha
mengungkapkan sifatnya yang sejati. Pengungkapan itu membabarkan ketiga corak
ini, dan bagaimana melalui penembusan ketiganya secara lengkap seseorang
mencapai pembebasan pikiran – yang dimiliki oleh seorang Buddha. Ini merupakan
saripati seluruh ajaran para Buddha.
Walaupun konsep
anicca diterapkan pada semua benda yang tersusun dari paduan unsur dan
terkondisi, Buddha lebih menekankan pada apa yang disebut makhluk hidup, karena
masalahnya berhubungan dengan manusia dan bukan dengan benda mati. Seperti
seorang ahli anatomi yang memisahkan organ tubuh menjadi jaringan dan jaringan
menjadi sel, Buddha, Penganalisis ( vibhajjavadi ), menganalisis apa yang
disebut mahkluk hidup, “sankhara punja,“ himpunan proses, menjadi lima agregat
yang selalu berubah, dan membuatnya menjadi jelas bahwa tidak ada suatu yang
kekal, tidak ada yang selamanya abadi, dalam himpunan agregat ini (khandha –
santati). Himpunan agregat kehidupan itu adalah bentuk jasmani, perasaan,
pencerapan, bentuk – bentuk pikiran, kesadaran.
17/05/2016
Kelas XI/2 : Paticcasamuppada
Hukum sebab-musabab yang saling bergantungan dalam bahasa
Pali disebut paticcasamuppada. Pemahaman hukum ini merupakan hal yang
sangat mendasar dalam pengajaran Buddha Dharma.
Hukum ini telah ada di alam semesta tanpa kemunculan seorang Buddha sekalipun.
Hukum ini bukanlah ciptaan/rekayasa seorang Samma
Sambuddha. Namun, sebagaimana semua Dharma,
memang hanyalah seorang Samma Sambuddha yang mampu menyingkapkannya. Sebelum kemunculan seorang
Samma Sambuddha, hukum paticcasamuppada belum
pernah terdengar dalam pengajaran mana pun.
Pembabaran paticcasamuppada bertujuan
untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, di mana tidak ada
sesuatu itu timbul tanpa sebab. Jika kita mempelajari Hukum Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan
terbebas dari pandangan salah dan dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan
sewajarnya.
Rumusan Hukum Paticcasamuppada
Secara
singkat, Hukum paticcasamuppada dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Imasming
sati idang hoti,
Imassuppada
idang uppajjati,
Imasming
asati idang na hoti,
Imassa
nirodha idang nirujjati
Artinya
Dengan
adanya ini, maka adalah itu,
Dengan
timbulnya ini, maka timbullah itu,
Dengan
tidak adanya ini, maka tidak adalah itu,
Dengan
padamnya ini, maka padamlah itu.
Rumusan singkat di atas mengandung makna yang sangat
dalam. Dalam rumusan di atas, kata timbul”
tidak sama dengan kata “ada”, dan kata “padam” tidak sama dengan kata
“tidak-ada”. apabila salah satu kalimat
di atas tidak ada, rumusan tersebut tidak mencerminkan kaidah
Dua Belas Nidana
Paticcasamuppada dalam
Nidana Vagga, Samyutta Nikaya,
diuraikan dalam dua model sebagai kemunculan dukkha
dan padamnya dukkha.
Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan
ini, seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat
diterangkan dalam formula dari dua belas nidana
(sebab-musabab):
1. Ketidaktahuan (avijja)
Ketidaktahuan
atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kotoran batin,
seluruh perbuatan jahat (akusala).
Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan,
perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun jasmani tidak akan
dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama
dari dua belas mata rantai paticcasamuppada.
Meskipun
demikian, kebodohan tidak seharusnya dianggap sebagai prima causa atau mula pertama, ataupun pokok asal
dari makhluk. Tentu saja ia bukan penyebab utama, dan tak ada gambaran mengenai
penyebab pertama dalam pemikiran Buddhis. Pada diagram paticcasamuppada, avijja
disimbolkan orang buta yang berjalan dengan tongkat.
Simbol ini bermakna orang yang gelap batinnya yang tidak bisa melihat
kebenaran.
2. Bentuk-Bentuk Karma (sankhara)
Avijja paccaya sankhara,
“dengan bergantung pada kebodohan, timbullah bentuk-bentuk karma yang
menghasilkan kelahiran kembali“. Istilah sankhara
juga memiliki arti yang lain. Dalam kalimat, “sabbe sankhara anicca“ atau “anicca vata sankhara“ (segala sesuatu yang terjadi dari
paduan unsur adalah tidak kekal), istilah “sankhara“
digunakan untuk segala sesuatu yang merupakan paduan unsur dan terkondisi,
misalnya semua yang menjadi makhluk sebagai akibat dari sebab dan kondisi, dan
apa yang mereka lakukan sebagai sebab dan kondisi berputar kembali untuk
menghasilkan akibat yang lain.
Dalam paticcasamuppada,
bagaimanapun juga, arti dari sankhara hanyalah
terbatas pada aktivitas baik dan jahat (kusala-akusala
karma), semua perbuatan, melalui jasmani, ucapan, dan pikiran (kaya sankhara, vaci sankhara dan citta sankhara) yang menghasilkan reaksi.
Sankhara disimbolkan sebagai pembuat pot dan
berbagai jenis pot. Ada pot yang utuh dan ada pot yang pecah. Ini melambangkan
bentukan-bentukan kehendak yang akan menghasilkan perbuatan yang baik atau
buruk melalui pikiran, ucapan, maupun perbuatan jasmani. Pot pecah melambangkan
karma yang telah berbuah dan pot utuh melambangkan karma yang belum berbuah.
3. Kesadaran (vinnana)
Sankhara paccaya vinnanam, “bergantung pada bentuk-bentuk
karma yang menghasilkan kelahiran kembali (milik kelahiran yang lampau),
timbullah kesadaran (kesadaran yang menyambung kembali kehidupan)“. Dengan kata
lain, bergantung pada karma atau perbuatan baik dan jahat di masa lampau,
terkondisi kesadaran dalam kehidupan yang sekarang. Karena itulah, kesadaran
merupakan factor pertama (nidana),
yang pertama dari urutan kondisi kehidupan yang dimiliki kehidupan yang
sekarang.
Avijja dan sankhara, ketidaktahuan dan bentuk-bentuk
karma, milik kehidupan yang lampau, bersama-sama membentuk vinnana, kesadaran dalam kelahiran sekarang.
Dalam Maha Nidana Sutta, Digha Nikaya,
dinyatakan, “Ketika kegelapan batin dan nafsu keinginan dimusnahkan, perbuatan
baik dan jahat tidak lagi terjadi dalam diri makhluk hidup.
Sebagai
akibatnya, kesadaran untuk lahir kembali tidak lagi muncul dalam kandungan
seorang ibu.” Karena itu, jelaslah bahwa seseorang dilahirkan kembali akibat perbuatan
baik dan jahatnya sendiri, dan bukan pekerjaan dari makhluk gaib, sosok
pencipta, ataupun terjadi karena kebetulan semata-mata.
Vinnana disimbolkan kera yang berayun dari
pohon ke pohon yang banyak buahnya. Simbol ini melambangkan kesadaran yang
merupakan penyambung dari satu momen kesadaran ke momen kesadaran berikutnya.
Dapat juga berarti kesadaran yang menyambungkan dari satu kehidupan ke
kehidupan berikutnya saat kematian.
4. Batin dan Jasmani (nama-rupa)
Vinnana paccaya nama rupam, “bergantung pada
kesadaran, timbullah batin dan jasmani“. Istilah nama di sini berarti corak batin (cetasika), dengan kata lain, tiga kelompok
batin, yaitu: perasaan (vedanakkhandha),
pencerapan (sannakkhandha),
bentuk-bentuk pikiran atau bentuk-bentuk karma atau mental (sankharakkhandha).
Yang
disebut sebagai makhluk (satta/sattva)
tersusun dari lima agregat atau kelompok (pancakkhandha),
yaitu : tubuh jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan
kesadaran (rupa, vedana, sanna, sankhara
dan vinnana). Jika kesadaran dianggap sebagai batin, perasaan,
pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran adalah sekutu atau unsur-unsur batin.
Ketika
kita mengatakan bergantung pada kesadaran, timbullah nama rupa, batin dan jasmani. Jasmani berarti
tubuh fisik, organorgan tubuh, kemampuan dan fungsinya. Batin berarti unsur
batin yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, vinnana paccaya nama rupam berarti bergantung
pada kesadaran, timbullah tiga sekutu batin (perasaan, pencerapan, dan
bentuk-bentuk pikiran) yang membentuk batin seiring dengan tubuh jasmani dalam
tahap awal suatu janin.
Nama
- rupa disimbolkan dua orang menaiki perahu yang didayung oleh tukang perahu.
Ini melambangkan batin dan jasmani yang bersama-sama mengarungi kehidupan,
namun tidak mengendalikan ke mana tukang perahu akan membawa mereka.
5. Enam Landasan Indra (salayatana)
Nama rupa
paccaya salayatanam, “bergantung pada batin dan jasmani
timbullah enam landasan indra. Enam indra terdiri atas lima indra jasmani,
mata, telinga, hidung, lidah dan jasmani, dan satu indra pikiran (manayatana). Manayatana
adalah bentuk gabungan dari beberapa golongan kesadaran
yang berbeda, seperti, lima jenis kesadaran indra dan berbagai jenis kesadaran
batin. Dengan demikian, kelima indra merupakan perwujudan jasmani, seperti
mata, telinga, hidung, lidah, dan jasmani dan yang keenam pikiran sama dengan
kesadaran.
Jika
tidak ada nama rupa (batin
dan jasmani), tidak ada salayatana (enam
landasan indra) yang dapat muncul. Karena rupa (indra
jasmani) mata, telinga dan seterusnya muncul, dan karena manayatanalah (jenis lain dari kesadaran) indra
jasmani berfungsi. Demikianlah, nama rupa dan
salayatana saling berhubungan dan
saling bergantungan satu sama lain. Enam landasan indra disimbolkan rumah yang
memiliki enam jendela.
6. Kontak (phasa)
Salayatana paccaya phasso, “bergantung pada enam landasan indra,
timbullah kontak“. Menurut dalil di atas, kita melihat enam landasan indra atau
ayatana, mata, telinga, dan seterusnya;
merekaadalah landasan indra dalam (ajjatika ayatana).
Di luar tubuh seseorang, terdapat lima objek indra yang terkait, bentuk, suara,
bau, rasa, dan sentuhan, lebih jauh lagi objek batin. Ini dikenal sebagai enam
landasan indra luar (bahira ayatana).
Indra luar ini adalah makanan bagi indra dalam manusia. Karena itulah, mereka
saling berhubungan. Walaupun ada hubungan fungsional antara enam indra ini
dengan objeknya, pengetahuan menjelma bersama vinnana
atau kesadaran.
Oleh
sebab itulah, dikatakan, “jika kesadaran timbul karena mata dan bentuk penglihatan,
ini disebut sebagai kesadaran penglihatan“. Ketika mata dan bentuk muncul
keduanya, bergantung padanya timbul kesadaran penglihatan. Serupa dengan
telinga dan suara, dan sebagainya, sampai pada pikiran dan objek batin (ide).
Pada saat ketiganya, mata, bentuk dan kesadaran mata atau kesadaran penglihatan
muncul bersamaan, peristiwa ini disebut “kontak“ (atau kesan-kesan). Dari
kontak, muncullah perasaan, dan seterusnya. Kontak disimbolkan sepasang pemuda
dan pemudi yang sedang bercumbu. Ini melambangkan kontak atau pertemuan antara
enam landasan indra dengan objeknya masing-masing.
7. Perasaan (vedana)
Phassa paccaya vedana, “bergantung pada kontak timbullah perasaan“.
Perasaan terdiri atas enam jenis:
a. perasaan yang timbul karena kontak
mata
b. perasaan yang timbul karena kontak
telinga
c. perasaan yang timbul karena kontak
hidung
d. perasaan yang timbul karena kontak
lidah
e. perasaan yang timbul karena kontak
jasmani
f. perasaan yang timbul karena kontak
pikiran.
Perasaan
mungkin berupa kesenangan (sukha),
penderitaan (dukkha),
ataupun netral, seperti tidak menyenangkan atau menyakitkan (adukkhama sukha = upekkha). Seperti yang telah didalilkan
sebelumnya, objek-objek indra tidak pernah dapat diketahui melalui kepekaan khusus
tanpa jenis kesadaran yang sesuai. Tetapi ketika ketiga faktor ini bergabung,
timbullah kontak. Dengan timbulnya kontak, timbullah perasaan (vedana) secara bersamaan dan tidak pernah
dapat dihentikan oleh kekuatan atau tenaga apa pun.
Itulah
sifat dari kontak dan perasaan. Dengan mengalami hasil karma yang diinginkan
ataupun yang tidak diinginkan dari perbuatan baik dan jahat yang dilakukan di
kelahiran yang sekarang ataupun kelahiran yang lampau, merupakan satu dari
kondisi-kondisi sebelumnya yang terjadi yang dapat menimbulkan perasaan Dengan
melihat suatu bentuk, mendengar suara, menciumaroma, mengecap rasa, menyentuh
suatu benda nyata, menyadari objek pikiran (ide) manusia mengalami perasaan;
tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semua makhluk mengalami perasaan yang sama dengan
objek yang sama.
Sebuah
objek, contohnya yang mungkin dirasakan menyenangkan oleh seseorang bisa jadi
dirasakan tidak menyenangkan oleh orang lain, dan netral oleh orang lain yang
tak terpengaruh. Perasaan mungkin juga berbeda menurut keadaan. Perasaan
disimbolkan orang yang terkena anak panak di mata nya. Akibat kontak antara
kesadaran, objek, dan indra, timbul perasaan. Perasaan dapat membutakan dan
membuat celaka jika tidak ada pengendalian diri.
8. Nafsu Keinginan (tanha)
Vedana paccaya tanha, “bergantung pada perasaan timbullah
nafsu keinginan“. Keinginan memiliki sumber, berasal dari perasaan. Seluruh
bentuk nafsu tercakup dalam tanha.
Keserakahan, kehausan, rangsangan, hawa nafsu, kegairahan, hasrat, kerinduan, dorongan
cinta, cinta keluarga, adalah beberapa istilah yang menunjukkan tanha, yang dikatakan oleh Buddha
merupakan penuntun dari suatu penjelmaan (bhavanetti).
Penjelmaan
yang berwujud sebagai dukkha,
sebagai penderitaan, kekecewaan, pencetus hal yang menyakitkan, adalah
pengalaman kita sendiri. Musuh dari seluruh dunia adalah hawa nafsu atau
keinginan (yang rendah) melaluinyalah kejahatan menjelma dalam diri manusia. Melalui
pemahaman yang jernih mengenai nafsu keinginan, asal mula nafsu keinginan,
lenyapnya nafsu keinginan, jalan menuju lenyapnya nafsu keinginan, seseorang
menguraikan kekusutan ini.
Lalu,
apakah nafsu keinginan itu? Nafsu keinginan inilah yang menyebabkan penjelmaan
kembali, kelahiran kembali, yang disertai dengan kenikmatan hawa nafsu dan
penemuan kesenangan baru pada masa sekarang dan selanjutnya, yaitu: keinginan
akan kesenangan indra (kama tanha),
keinginan untuk terus berlangsung (bhava tanha)
dan keinginan untuk tidak berlangsung (vibhava tanha).
Di
manakah nafsu keinginan timbul dan berakar? Di mana ada kegembiraan dan
kenikmatan, di sanalah nafsu keinginan timbul dan berakar. Bentuk, suara, bau,
rasa, sentuhan jasmani dan ide merupakan kegembiraan dan kenikmatan, di sanalah
nafsu keinginan timbul dan berakar. Nafsu keinginan disimbolkan orang mabuk
yang terus minum. Ini melambangkan nafsu keinginan yang tidak kenal puas,
menuruti terus dan terus meski membahayakan.
9. Kemelekatan (upadana)
Tanha paccaya upadanam, “bergantung pada nafsu keinginan timbullah
kemelekatan“. Keadaan batinlah yang melekat atau mengikat objeknya seperti
sepotong kerak daging yang melekat pada panci bergagang. Karena kemelekatan
ini, yang digambarkan sebagai keinginan yang tinggi kadarnya, manusia menjadi
budak nafsu, dan terjerat dalam jaring yang telah dibuatnya sendiri dari nafsu
terhadap kesenangan seperti ulat bulu melingkar kusut sendiri di tempat dia
hidup. Kemelekatan atau ikatan (upadana),
terdiri dari empat jenis, yaitu seperti berikut.
a. kemelekatan pada
kesenangan-kesenangan indra atau nafsu indra (kama
upadana)
b. kemelekatan pada pandangan yang
salah dan jahat (ditthi upadana)
c. kemelekatan pada kepercayaan dan
upacara takhayul (silabbata upadana)
d. kemelekatan pada ego, atau adanya
roh yang kekal (attavada upadana).
e. kemelekatan disimbolkan kera yang
memetik buah dan memegangnya erat-erat.
10. Penjadian (bhava)
Upadana paccaya bhavo, “bergantung pada kemelekatan,
timbullah penjelmaan“. Penjelmaan terdiri atas dua jenis, dan harus dipahami
sebagai dua proses: proses karma (karma bhava)
dan proses tumimbal lahir akibat karma (upapatti
bhava). Karma bhava adalah
kumpulan perbuatan baik dan jahat, “sisi kehidupan dengan karma yang aktif“. Upapatti bhava adalah “sisi kehidupan yang netral
secara moral dengan karma yang pasif“, dan berarti proses tumimbal lahir akibat
karma di kehidupan yang selanjutnya. Dalam dalil pertama (avijja paccaya sankhara), sankhara
dijelaskan sebagai perbuatan baik dan jahat (karma).
Jika
demikian, tidakkah ini merupakan pengulangan dengan mengatakan bahwa karma bhava, yang disebutkan di sini, juga
berarti perbuatan baik dan jahat? Paticcasamuppada yang
harus kita pahami tidak hanya berhubungan dengan kehidupan sekarang, melainkan
dengan tiga kehidupan seluruhnya: lampau, sekarang, dan masa depan.
Karma atau perbuatan baik dan jahat yang
disebutkan dalam dalil pertama, milik kehidupan lampau dan kepada perbuatan di
masa lampau itulah kehidupan sekarang bergantung. Karma yang dimaksud di dalam dalil ini, upadana paccaya bhavo, milik kehidupan sekarang dan pada
gilirannya menyebabkan kehidupan di masa depan. Upadana paccaya bhavo berarti kemelekatan (upadana), adalah kondisi bagi proses karma,
atau perbuatan dan proses tumimbal lahir akibat karma lalu. Penjadian
disimbolkan perempuan hamil yang melambangkan proses munculnya eksistensi atau
kelahiran ulang.
11. Kelahiran (jati)
Bhava paccaya jati, “bergantung pada penjelmaan
timbullah kelahiran“. Di sini kelahiran tidak hanya berarti benar-benar
peristiwa melahirkan, melainkan kemunculan dari lima agregat (bentukbentuk materi, perasaan,
pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran) dalam kandungan ibu. Proses
ini dikondisikan oleh karma bhava.
Kelahiran sekarang dihasilkan dari nafsu keinginan dan kemelekatan pada
kehendak berbuat (tanha upadana)
dari kelahiran lampau, dan nafsu keinginan dan kemelekatan yang dilakukan dengan
kesadaran di kelahiran sekarang akan menghasilkan kelahiran kembali di masa
depan.
Menurut
ajaran Buddha, kehendak berbuat inilah yang membagi makhluk hidup menjadi
tinggi dan rendah. Makhluk hidup merupakan ahli waris dari perbuatannya, pemilik
yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Perbuatannya merupakan rahim dari
mana ia dilahirkan, dan melalui perbuatan mereka sendirilah mereka harus
berubah demi kebaikan, memperbaiki diri dan memenangkan kebebasan dari kotoran
batin. Kelahiran disimbolkan dengan wanita melahirkan yang melambangkan
kelahiran ulang (tumimbal lahir) makhluk-makhluk.
12. Penuaan dan Kematian (jara marana)
Jati paccaya jaramaranam, “bergantung pada kelahiran timbullah
pelapukan dan kematian“. Bersamaan dengan itu secara alami, timbullah
kesedihan, keluh kesah, kesakitan, penderitaan dan keputusasaan. Kelahiran tak
terelakkan diikuti oleh pelapukan dan kematian. Jika tak ada kelahiran, tak
akan ada pelapukan dan kematian. Demikianlah seluruh bentuk penderitaan
bergantung pada dua belas faktor ketergantungan. Pelapukan dan kematian diikuti
oleh kelahiran, dan kelahiran sebaliknya diikuti oleh pelapukan dan kematian. Kehidupan
duniawi tidak kekal, selalu berubah.
Orang
membangun harapan kosong dan merencanakan hari depan, tetapi suatu hari,
mungkin tiba-tiba dan tak diharapkan, datanglah saat yang tak terelakkan ketika
kematian mengakhiri masa kehidupan yang singkat ini, dan menjadikan harapan
kita sia-sia. Selama manusia terikat pada kehidupan melalui kegelapan batinnya,
nafsu keinginan dan kemelekatan, baginya kematian bukan merupakan akhir. Ia
akan melanjutkan karyanya dengan berputar mengikuti roda kehidupan, dan akan
terjerat dan terkoyak di antara jari-jari roda penderitaan.
Demikianlah,
di dunia sekeliling kita, melihat perbedaan pria dan wanita, dan perbedaan
keberuntungan mereka yang beraneka ragam, kita mengetahui bahwa hal ini tidak
dapat terjadi karena kebetulan semata-mata. Kekuatan luar atau perantara yang
menghukum manusia untuk perbuatan jahatnya dan memberi pahala untuk perbuatan
baiknya tidak memiliki tempat dalam pemikiran Buddhis. Umat Buddha tidak
berupaya menyenangkan barang seseorang yang dihormati secara khusus atau berdoa
pada suatu pribadi yang tak terlihat agar memberikan pembebasan bagi mereka.
Bahkan,
Buddha yang Agung tidak dapat melepaskan mereka dari belenggu samsara. Dalam
diri kita sendirilah terletak kekuatan untuk membentuk kehidupan kita. Umat
Buddha adalah karmavidin,
orang yang percaya pada keberhasilan perbuatan, baik dan jahat. Penuaan dan
kematian disimbolkan orang tua yang memanggul mayat. Ini melambangkan proses
penuaan dan kematian yang akan terjadi pada setiap makhluk yang telah lahir. Demikianlah
seluruh rangkaian penderitaan timbul.
Dua
yang pertama dari dua belas mata rantai ini berhubungan dengan kehidupan
lampau. Delapan yang selanjutnya berhubungan dengan kehidupan sekarang,
sedangkan dua yang terakhir berhubungan dengan kehidupan yang akan datang. Proses
sebab dan akibat terus berlanjut tanpa batas. Permulaan proses ini tidak dapat
ditentukan karena tidak mungkin untuk menyatakan di mana arus kehidupan ini
mulai diliputi oleh kebodohan. Tetapi, bilamana kebodohan ini diubah menjadi pengetahuan
dan arus kehidupan ini dialihkan ke Nibbana dhatu, terjadilah
akhir proses kehidupan atau samsara ini.
Jika karena sebab timbul akibat, jika sebab berakhir, akibat juga akan
berakhir.
Urutan balik paticcasamuppada akan membuat persoalan ini menjadi
lebih jelas.
1. Berakhirnya kebodohan
secara mutlak mengakibatkan berhentinya seluruh kegiatan kehendak.
2. Berakhirnya seluruh
kegiatan kehendak mengakibatkan berhentinya kesadaran tumimbal lahir.
3. Berakhirnya kesadaran tumimbal lahir
mengakibatkan berhentinya batin dan jasmani.
4. Berakhirnya batin dan jasmani mengakibatkan
berhentinya enam landasan indria.
5. Berakhirnya enam landasan indra mengakibatkan
berhentinya kontak.
6. Berakhirnya kontak mengakibatkan berhentinya
perasaan.
7. Berakhirnya perasaan mengakibatkan berhentinya
keinginan.
8. Berakhirnya nafsu keinginan mengakibatkan
berhentinya nafsu kemelekatan.
9. Berakhirnya nafsu
kemelekatan mengakibatkan berhentinya karma.
10. Berakhirnya karma mengakibatkan
berhentinya kelahiran.
11. Berakhirnya kelahiran
mengakibatkan berhentinya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah,
kesakitan, kesedihan dan ratap tangis.
12. Berakhirnya usia tua,
kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis maka
berakhirlah tumimbal lahir. Demikianlah seluruh rangkaian penderitaan berakhir.
(Sumber : Buku Pendidikan Agama Buddha Dan Budi Pekerti, SMA/SMK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan ke-I, tahun 2014)
note :
Catatan di atas memerlukan perjelasan lebih lanjut. Untuk anak-anak ku usahakan rajin mengikuti kegiatan PBM tatap muka, jangan sering-sering ijin, apalagi Bolos. thx
(Sumber : Buku Pendidikan Agama Buddha Dan Budi Pekerti, SMA/SMK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan ke-I, tahun 2014)
note :
Catatan di atas memerlukan perjelasan lebih lanjut. Untuk anak-anak ku usahakan rajin mengikuti kegiatan PBM tatap muka, jangan sering-sering ijin, apalagi Bolos. thx
Subscribe to:
Posts (Atom)