20/10/2016

Kelas XI/1


1. Manfaat melaksanakan sila

Manfaat Mempraktikkan Sīla


Buddha menyebutkan lima manfaat mempraktikkan sīla dalam Maha Parinibbana Sutta (DN. 16), yaitu (1) mendapatkan kekayaan yang berlimpah melalui usaha yang giat, (2) reputasi baiknya tersebar luas, (3) penuh percaya diri, (4) meninggal dengan tenang, dan (5) setelah meninggal terlahir di alam yang baik (alam surga). Manfaat-manfaat di atas dapat dijelaskan secara  rincisebagai berikut.



1.        Mendapat Kekayaan yang Berlimpah melalui Usaha Giat


Walaupun kekayaan sebenarnya adalah berkah utama dari berdana, tetapi tanpa dukungan dari sīla dan usaha yang giat, hal ini akan sulit terwujud. Contoh: seseorang yang rajin menabung jika sering melakukan pelanggaran sīla, suatu saat mungkin dia akan ditangkap dan dipenjara. Saat berada dalam penjara, kemungkinan besar dia tidak mempunyai lagi akses pada tabungannya (kekayaannya). Hal ini bagaikan makhluk yang terlahir di empat alam rendah. Mereka sulit sekali untuk menikmati hasil dari berdananya karena kondisi tempat hidup yang tidak mendukung. Mungkin ada yang berkata, buktinya beberapa binatang dapat hidup dengan mewah (contoh: anjing, kuda, kucing, atau binatang peliharaan lainnya milik orang kaya).


Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, tetapi jika dibandingkan dengan mereka yang mengalami penderitaan, jumlah mereka yang dapat menikmati kesenangan sangatlah kecil. Apalagi bagi mereka yang terlahir di alam neraka, tidak ada kesempatan sama sekali walaupun kecil. Sīla memfasilitasi seseorang terlahir di alam yang baik, ditambah dengan usaha yang giat dan kecerdasan, hasil dari berdananya mempunyai kondisi untuk berbuah. Selain itu, karena sīla-nya baik, banyak orang yang percaya dan ingin berbisnis dengannya. Dengan demikian, dapat diharapkan kekayaannya akan cepat meningkat.


2.       Reputasi baik tersebar luas

Orang yang menjaga sīlanya dengan baik dapat diharapkan mempunyai tindak-tanduk dan ucapan yang baik pula. Orang yang demikian dapat dipastikan akan disukai oleh banyak  orang.Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar jika reputasi baiknya tersebar luas. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Buddha kepada Bhikkhu Ānanda saat Bhikkhu Ānanda bertanya kepada Buddha,
 “Apakah ada suatu hal yang harumnya dapat melawan arah angin, yang dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia?” Buddha menjawab, “Ānanda, seandainya ada seseorang yang mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, yang melaksanakan pancasīla, yang murah hati, tidak kikir, orang yang demikian sesungguhnyalah dikatakan sebagai orang yang bermoral dan layak mendapat pujian. Reputasi orang yang demikian akan tersebar luas, dan para bhikkhu, brahmana dan semua orang akan memujinya, di mana pun dia berada”
(Dharmapada Atthakatha 54 dan 55).

Buddha juga menjelaskan bahwa reputasi dari orang yang melaksanakan sīla dengan baik dapat tersebar hingga ke alam dewa. Dikatakan dalam Makhadeva Sutta (Majjhima Nikaya 83) bahwa reputasi Raja Nimi yang selalu menjalankan uposatha (delapan) sīla pada hari ke-8, 14, dan 15 (sistem penanggalan bulan) membuat para dewa dari alam dewa tingkat dua (Tāvatisa) ingin bertemu dengannya; dan Sakka, sang raja dewa mengirimkan kereta kudanya yang ditarik oleh seribu kuda unggul untuk menjemputnya. 


3.       Penuh Percaya Diri

Seperti yang telah dikatakan pada penjelasan mengenai ‘reputasi baik tersebar luas’ bahwa orang yang menjaga sīla-nya dengan baik dapat diharapkan mempunyai tindak-tanduk dan ucapan yang baik pula. Orang yang demikian dapat dipastikan akan disukai oleh banyak orang. Oleh karena itu, mereka penuh percaya diri, tidak ada rasa malu, canggung, ataupun rendah diri dalam bergaul di semua lapisan/kelompok masyarakat, baik itu kelompok atas (seperti anggota kerajaan, pejabat tinggi, dan orang-orang kaya), menengah, ataupun bawah. Selain itu, orang yang bermoral baik, penuh percaya diri karena tidak ada perbuatannya yang dapat dicela oleh para bijaksana.


4.       Meninggal dengan Tenang

Orang yang hidupnya dianugerahi oleh tiga berkah di atas, kemungkinan besar akan hidup tenang. Selain itu, orang yang tekun melaksanakan dan menjaga sīla-nya dengan baik, tingkah lakunya sopan, tutur katanya lembut, disenangi banyak orang, sedikit (atau bahkan tidak punya) musuh, dan juga akan dipuji oleh para bijaksana. Dengan demikian, bagaimana mungkin orang yang memiliki kualitas luhur seperti ini bisa hidup tidak tenang? Mereka pasti hidup dengan tentang. Karena kemurnian dari moralitasnya, bukan hanya semasa hidupnya mereka penuh dengan kedamaian dan ketenangan, tetapi kemungkinan besar saat meninggal pun mereka akan berada dalam keadaan damai dan tenang. Buddha bersabda dalam syair Dharmapada 165,
“Sesungguhnyalah, oleh dirinya sendirilah kejahatan dilakukan
dan oleh dirinya sendirilah dirinya tercemar; oleh dirinya
sendirilah kejahatan tidak dilakukan dan oleh dirinya sendirilah
dirinya termurnikan. Kemurnian dan ketidakmurnian sepenuhnya
bergantung pada dirinya sendiri; tak ada seorang pun yang dapat
memurnikan orang lain.”

Selain itu, Buddha juga memberikan empat kepastian dalam Kesamutti Sutta atau Kalama Sutta (Anguttara Nikaya 3. 65), “Para murid yang Mulia, Kaum Kalama, yang pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat/kedengkian, bersih dan murni, adalah dia yang memiliki 4 kepastian di sini dan saat ini.”
Empat kepastian tersebut adalah seperti berikut.
a.       Seandainya ada kehidupan yang akan datang dan ada buah/hasil dari perbuatan baik atau buruk, adalah hal yang mungkin ketika meninggal, akan terlahir di alam bahagia, alam dewa/surga.

b.       Seandainya tidak ada kehidupan yang akan datang dan tidak ada buah/hasil dari perbuatan baik atau buruk, tetapi di kehidupan ini, di sini dan saat ini, saya menjaga diri saya dalam ketenteraman, bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat/kedengkian, dan masalah.

c.       Seandainya buah/hasil dari perbuatan buruk menimpa pelakunya, saya tidak melakukan perbuatan buruk, bagaimana hasil perbuatan buruk akan menimpa saya yang tidak melakukannya.

d.       Seandainya buah/hasil dari perbuatan buruk tidak menimpa pelakunya, saya dapat memastikan diri saya murni dalam keadaan apa pun. Seseorang yang melaksanakan dan menjaga sīla-nya dengan baik, jika dia teringat atau merenungkan dua wejangan Buddha di atas, dapat dipastikan dirinya akan menjadi bahagia dan tenang. Walaupun berada dalam keadaan sekarat, kebahagiaan yang timbul karena telah hidup sesuai dengan Dharma akan membuatnya tenang dalam segala hal, termasuk saat menghadapi kematian.

Perlu juga diketahui bahwa salah satu dari empat puluh subjek meditasi ketenangan/konsentrasi (samatha bhāvanā) ada yang disebut sīlānussati, yaitu perenungan tentang sīla. Seseorang yang dapat melaksanakan sīla dengan baik akan mudah melakukan meditasi ini. Hal ini dikarenakan ketika dia merenungkan moralitasnya, dia akan menyadari bahwa moralitasnya baik sehingga pikirannya akan cepat tenang dan terkonsentrasi. Jika hal ini terus dilatih dan dikembangkan, dapat dipastikan dia akan meninggal dengan tenang.


5.       Setelah Meninggal Terlahir di Alam yang Baik

Orang yang menjalankan dan menjaga sīla dengan baik akan mengakumulasi banyak sekali karma baik. Selain itu, seperti penjelasan sebelumnya, dia akan meninggal dengan tenang. Keadaan pikiran saat meninggal sangatlah menentukan ke mana seseorang akan dilahirkan kembali. Seseorang yang meninggal pada saat pikirannya terserang keserakahan (lobha), dia akan terlahir kembali menjadi hantu kelaparan (peta) atau jin (asura). Seseorang yang meninggal pada saat pikirannya terserang kebencian/kemarahan (dosa), dia akan terlahir kembali menjadi makhluk penghuni neraka (niraya); dan yang terserang kebodohan mental (moha), akan terlahir sebagai binatang (tiracchāna).

Banyak kisah yang menceritakan tentang kelahiran seseorang di alam bahagia sebagai hasil dari berlatih Dharma (dana, sīla, dan meditasi). Sebagai contoh kisah Upāsaka Dhammika dalam Dharmapada Atthakatha 16. Suatu ketika di kota Sāvatthī, hidup seorang upāsaka yang bernama Dhammika. Dia adalah seorang pria yang berbudi luhur (bermoral) dan sangat senang berdana. Dia dengan murah hati memberikan persembahan makanan dan kebutuhan lainnya bagi para bhikkhu secara teratur dan juga pada hari-hari istimewa. Sesungguhnya, dia adalah pemimpin dari lima ratus umat Buddha (upāsaka dan upāsikā) yang tinggal di Kota Sāvatthī. Dhammika mempunyai tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.
Mereka, sama seperti Dhammika, adalah anakanak yang berbudi luhur dan gemar berdana. Ketika Dhammika mengalami sakit parah dan sekarat akan meninggal, dia memohon kepada Sangha untuk datang ke rumahnya dan membacakan beberapa sutta di samping pembaringannya. Ketika para bhikkhu sedang membacakan Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, enam kereta kuda yang penuh hiasan dari alam dewa dating untuk mengundangnya pergi ke alam mereka masing-masing. Dhammika memberi tahu mereka untuk menunggu sebentar karena takut mengganggu pembacaan sutta yang sedang berlangsung.

Tetapi, para bhikkhu mengira bahwa Dhammika meminta mereka untuk menghentikan pembacaan suttanya. Maka, mereka menghentikannya dan pergi meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian, Dhammika memberi tahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang sedang menunggunya. Anak-anaknya menangis karena mengira ayah mereka sekarang menjadi tidak waras. Hal ini dikarenakan mereka tidak bisa melihat kereta kuda dari alam dewa tersebut. Dhammika kemudian meminta anaknya untuk mengambil karangan bunga dan bertanya, “Alam dewa manakah yang harus aku pilih bila hal ini benar adanya?” Mereka memberi tahu ayahnya untuk memilih alam dewa Tusita.

Dhammika pun memutuskan untuk memilih alam Tusita dan meminta salah satu anaknya untuk melemparkan karangan bunga tersebut ke udara. Karangan bunga tersebut tetap menggantung di udara karena menyangkut di kereta kuda dari alam Tusita. Dhammika pun kemudian meninggal dan terlahir di alam Tusita. Demikianlah, orang yang berbudi luhur berbahagia di kehidupan (dunia) ini dan juga di kehidupan berikutnya.

Sang Buddha mengakhiri cerita tersebut dengan mengucapkan syair Dharmapada 16, “Dikehidupan ini dia berbahagia, di kehidupan berikutnya dia berbahagia; Seseorang yang melakukan perbuatan baik, berbahagia di kedua kehidupannya. Dia berbahagia dan sungguh berbahagia ketika dia melihat kemurnian dari tindakannya.” Selain yang diuraikan dalam Maha Parinibbana Sutta, manfaat dari mempraktikkan sīla juga dijelaskan dalam kitab-kitab lainnya. Manfaat tersebut di antaranya seperti berikut. 


6.       Tercapainya Keinginan

Dalam Dānūpapatti Sutta (Anguttara Nikaya 8. 35) Buddha berkata bahwa harapan dari penderma akan tercapai berkat kemurnian moralitasnya. Buddha dalam satu kesempatan menyatakan kepada para upāsaka yang sedang menjalani hari uposatha. Beliau berkata,

“Para upāsaka, sikap kalian baik, jika kalian mengisi hari uposatha dengan melakukan dana, menjaga sīla, meredam kemarahan  berbaik hati, dan melaksanakan tugas kalian. Para pria bijaksana di masa lalu memperoleh kemasyhuran bahkan hanya dari menjalankan separuh hari uposatha”.


7.        Menyembuhkan Penyakit

Salah satu kisah dalam Visuddhimagga yang menceritakan tentang kasus penyembuhan berkat kekuatan kemurnian pelaksanaan sīla adalah kisah Bhante Sāriputta (VM I,116). Cerita singkat tentang kesembuhan Bhante Sāriputta adalah sebagai berikut.

Suatu hari ketika Bhante Sāriputta berdiam di sebuah hutan bersama Bhante Mahā Moggallāna, dia terserang sakit perut yang parah. Mengetahui hal itu, Bhante Mahā Moggallāna bertanya, “Apa yang biasanya kamu gunakan untuk mengatasi hal ini sebelumnya?” Bhante Sāriputta memberitahunya bahwa biasanya ibunya memberikan dia campuran bubur beras dengan susu murni, ghee, madu, dan gula. “Baiklah teman, bila kita mempunyai karma baik, besok kita akan mendapatkannya,” kata Bhante Mahā Moggallāna Saat itu, dewa yang berdiam di pohon dekat mereka tinggal mendengar percakapan mereka dan berpikir bahwa dia akan membantu mencarikannya. Kemudian, dewa itu pergi ke rumah salah satu penyokong kedua bhikkhu dan membuat anak laki-laki tertuanya kesurupan.

Dia berkata, “Bila besok kalian dapat menyediakan bubur susu untuk Thera, aku akan membebaskannya.” Mereka berkata, “Bahkan tanpa diminta olehmu, kami secara teratur menyediakan kebutuhan para sesepuh.”

Keesokan harinya, mereka pun menyiapkan bubur susu dan memberikannya kepada Bhante Mahā Moggallāna yang sedang mengumpulkan dana makanan (pidapāta). Setelah kembali, Bhante Mahā Moggallāna berkata kepada Bhante Sāriputta, “Ini, temanku Sāriputta, makanlah.” Tetapi sebelum memakannya, Bhante Sāriputta dengan kekuatan pengetahuan super normalnya dia mengetahui bagaimana bubur susu tersebut didapat, yaitu atas desakan dari dewa.

Maka, Bhante Sāriputta memberitahu Bhante Mahā Moggallāna bahwa makanan tersebut tidak dapat digunakan. Tanpa berpikir, “Dia tidak memakan makanan yang aku bawa,” Bhante Mahā Moggallāna langsung menuang bubur susu tersebut ke tanah. Begitu bubur susu tersebut menyentuh tanah, sakit perut Bhante Sāriputta pun hilang dan tidak pernah kambuh kembali.

Bhante Sāriputta memberikan contoh bahwa kemurnian sīla haruslah dijunjung tinggi, sekalipun hidup sebagai taruhannya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi para bhikkhu, tetapi juga berlaku untuk semua orang. Kisah sembuhnya sakit perut Bhante Sāriputta menunjukkan bahwa buah karma baik dari hasil pelaksanaan sīla yang baik sangatlah luar biasa. Jadi, sudah selayaknyalah setiap orang untuk berusaha menjaga kemurnian sīla-nya semaksimal mungkin. 


8.       Landasan bagi Tercapainya Pencerahan

Sebelumnya telah dibahas beberapa manfaat dari melaksanakan sīla, namun semuanya adalah manfaat duniawi. Bagian ini dapat dikatakan sebagai manfaat tertinggi dari melaksanakan sīla karena di sini sīla berperan sebagai landasan bagi tercapainya sesuatu yang bersifat adiduniawi, yaitu pencerahan. Pencerahan dicapai bukan hanya tindakan jasmani dan ucapannya saja yang murni, tetapi pikirannya juga terbebas dari kekotoran mental. Ini dicapai karena selalu menjaga perhatian murninya (sati - indriya savara sīla) sehingga pikirannya bagaikan emas yang telah dimurnikan, yang siap dan berada dalam keadaan yang sangat tepat untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Hal penting yang perlu diingat di sini adalah sīla berperan sebagai landasan, tetapi yang membawa tercapainya pencerahan adalah latihan meditasi vipassanā.

(Sumber : Buku pendidikan agama Buddha dan budi pekerti, SMA/SMK kelas XI, kurikulum 2013, KEMENDIKBUD)

27/09/2016

Cara Mencapai Tingkat Kesucian


 Cara mencapai Tingkat kesucian

Setiap tingkat kesucian yang dicapai merupakan hasil dari usaha dan keberhasilan melenyapkan sebagian atau seluruh belenggu atau samyojana.
1.         Sotapana        : mematahkan tiga belenggu (1-3)
2.         Sakadagami    : mematahkan 3 belenggu (1-3) dan melemahkan dua belenggu selajutnya(4-5) 
3.         Anagami         : mematahkan lima belenggu (1-5)
4.         Arahat            : mematahkan semua belenggu

Terdapat sepuluh belenggu batin atau samyojana yang harus dapat dipatahkan oleh seeorang yang bertekad mencapai suatu tingkat kesucian yaitu :
1.         Sakaya ditthi               ; yaitu pandangan salah yang menganggap bahwa ada  diri atau jiwa yang kekal
2.         vicikiccha                   ; yaitu keragu-raguan
3.         silabata paramasa       ; yaitu kepercayaan yang salah kepada upacara ritual keagamaan
4.         kamaraga                    ; yaitu kemelekatan pada pemuasan nafsu indriya
5.         patigha                       ; yaitu kebencian dan dendam
6.         ruparaga                     ; keinginan untuk terlahir kembali di alam rupa
7.         aruparaga                    ; keinginan untuk terlahir kembali di alam arupa
8.         mana                          ; kesombongan
9.         udaccha                      ; kegelisahan
10.      avijja                          ; kegelapan batin

Seseorang yang telah berhasil mencapai suatu tingkat kesucaian berarti telah mendapatkan tahap aman dalam proses kehidupannya. Orang yang telah mencapai tingkat kesucian maka kondisi batinnya tidak akan pernah turun lagi, tetapi sebaliknya akan terus maju dan dapat dipastikan mencapai tingkat kesucian yang paling tinggi yaitu menjadi Arahat.
Pencapaian tingkat kesucian tertinggi atau Arahat sama artinya telah merealisasi Nibbana. Jalan menuju Nibbana telah ditunjukkan oleh Buddha dengan sangat jelas, tidak ada yang disembunyikan oleh Buddha dalam ajaran-Nya yang manapun. Dalam – mahasatipatha sutta Buddha menjelaskan cara mencapai Nibbana, “satu-satunya cara o bhikku untuk mencapai Nibbana, yaitu dengan 4 landasan perhatian”.
Yang dimaksud 4 landasan indera yaitu, Vipassana Bhavana, pengembangan mental untuk berlandaskan kontemplasi yang berujung pada Nibbana:
1.         Kontemplasi atas fisik (kayanupassana satipatthana)
2.         Kontemplasi atas mental (vedananupassana satipatthana)
3.         Kontemplasi atas pikiran (cittanupassana satipatthana)
4.         Kontemplasi atas obyek-obyek dhamma (dhammanupassana satipatthana)

Tingkatan Kesucian Dalam Agama Buddha


ARIYA PUGGALA
 (Mahkluk Suci)

A.     Pengertian
Ariya puggala berasal dari dua kata yaitu Ariya dan Puggala. Ariya berarti suci, mulia; sedangkan puggala berarti mahkluk. Jadi ariya puggala adalah mahkluk suci, dalam hal ini berarti mahkluk yang telah mencapai suatu tingkat kesucian. Pencapaian tingkat kesucian tersebut di ukur dari seberapa banyak belenggu batin (Samyojana) yang telah berhasil di patahkan dan dilemahkan. Jika seseorang yang telah mampu mencapai satu saja tingkat kesucian, maka ia dapat disebut telah masuk ke zona aman dari siklus tumimbal lahir, karena seseorang yang telah menjadi ariya puggala tidak akan pernah lagi terlahir kea lam-alam rendah, namun akan terus naik ke alam yang lebih tinggi dan mencapai ke Arhatan.

B.     Keselamatan Dalam Agama Buddha
Buddha gotama telah berjasa sangat besar karena telah berkenan membabarkan Dhamma yang membawa kebahagiaan, umat Buddha sudah sepantasnya memberikan penghormatan yang tak terhingga kepada-Nya, namun demikian Buddha gotama tidak meng-klaim diri-Nya sebagai juru selamat dalam agama Buddha. Buddha mengatakan bahwa juru selamat setiap orang/mahkluk adalah diri sendiri, yaitu  yang telah mampu mencapai suatu tingkat kesucian karena tekun dan giat melatih diri dalam dhamma. Inilah keselamatan yang sesungguhnya.
Tingkat kesucian itulah yang membawa diri seseorang mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya. Terdapat empat tingkat kesucian yaitu : Sotapana, Sakadagami, Anagami, Arahat. Melalui latihan dan usaha yang tekun oleh diri sendiri, maka keselamatan yang sesungguhnya dapat direalisasi oleh satiap orang. Buddha mengajarkan agar tidak menyerahkan diri kepada kekuatan di luar, karena sesungguhnya diri sendirilah yang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.
“jadilah pelita bagi dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi dirimu sndiri. Jangan menyandarkan dirimu pada perlindungan dari luar. Peganglah teguh dharma sebagai pelita. Peganglah teguh dharma sebagai pelindung. Jangan mencari perlindungan di luar dirimu” (D.II.100).
Berikut keempat tingkat kesucian yang dikenal dalam BUddhisme :
1.         Sotapana : yaitu pemenang arus (Nibbana), merupakan tingkat kesucian yang pertama. Seseorang yang telahmencapai tingkat kesucian ini akan terlahir kembali paling banyak tujuh kali lagi sebelum mencapai tingkat kesucian Arahat. Sotapana terdiri dari tiga jenis yaitu :
a.         Ekabiji Sotapanna : Terlahir kembali 1 kali
b.         Kolamkola Sotapanna : Terlahir 2 atau 3 kali lagi.
c.         Sattakhattuparana Sotapanna : Terlahir kembali 7 kali lagi.

2.         Sakadagami : yaitu yang telah kembali satu kali lagi, merupakan tingkat kesucia kedua. Seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian ini akan terlahir kembali sebanyak satu kali lagi sebelum mencapai tingkat kesucian Arahat. Sakadagami terdiri dari lima jenis yaitu :
a.         Idha Patva Idha Parinibbayi (Capai Sakadagami-phala dan Arahata-phala di alam manusia di kehidupan yg sama).
b.         Tattha Patva Tattha Parinibbayi (Capai Sakadagami-phala dan Arahata-phala di alam Deva di kehidupan yg sama)
c.         Idha patva tattha parinibbayi (mencapai sakadagami phala di alam manusia, setelah meninggal dunia dilahirkan di alam dewa dan mencapai arahat di alam dewa.
d.         Tattha Patva Idha Parinibbayi (Capai Sakadagami-phala di alam Deva terlahir dan capai Arahata-phala di alam manusia)
e.         Idha Patva Tattha Nibbattitva Idha Parinibbayi (Capai Sakadagami-phala di alam manusia terlahir di alam Deva dan Arahata-phala di alam manusia

3.         Anagami : yaitu tidak pernah kembali, tidak akan kembali lagi terlahir di kama sugati bhumi, namun akan terlahir di salah satu alam rupa bhumi dan mencapai tingkat kesucian Arahat di sana. Anagami terdiri dari lima jenis yiatu:
a.         Antara-parinibbayi (Anagami capai arahat dan Parinibbana dlm usia yg belum mencapai setengah usia).
b.         Upahacca-parinibbayi (Anagami capai arahat dan Parinibbana dlm usia yg hampir mencapai setengah usia).
c.         Asankhara-parinibbayi (Anagami capai arahat dan Parinibbana dg tidak usah berusaha keras).
d.         Sasangkharapanibbai (Anagami yang mencapai arahat dan parinibbana dengan berusaha keras)
e.         Uddhamsoto-akanitthagami (Anagami capai arahat dan Parinibbana di alam kehidupan Akanittha).

4.         Arahat: yaitu yang telah terbebas dari belenggu tanha. Seorang yang telah mencapai tingkat kesucian arahat berarti telah berhasil merealisasi Nibbana dalam kehidupan saat ini juga. Dan tidak akan pernah terlahir lagi di alam manapun dalam 31 alam kehidupan tersebut. Arahat terdiri dari tiga jenis yaitu:
a.         Sukhavipasako (Memiliki pandangan terang saja, tak punya Jhana).
b.         Tevijjo (Memiliki 3 macam Abhinna-pengetahuan) :
1)    Pubbenivasanussatinana (Kemampuan untuk mengingat tumimbal-lahir yg dahulu).
2)    Dibbacakhunana (Kemampuan melihat alam halus dan muncul lenyapnya makhluk yg bertumimbal lahir sesuai dg kammanya masing-masing).
3)    Asavakkhayanana (Kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin).

c.         Chalabhinno (Memiliki 6 kekuatan batin) :
1)    Pubbenivasanussatinana (Kemampuan untuk mengingat tumimbal-lahir yg dahulu).
2)    Dibbacakhunana (Kemampuan melihat alam halus dan muncul lenyapnya makhluk yg bertumimbal lahir sesuai dg kammanya masing-masing).
3)    Asavakkhayanana (Kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin).
4)    Cetopariyanana (Kemampuan membaca pikiran makhluk lain)
5)    Dibbasotanana (Kemampuan mendengar suara makhluk jauh dan dekat di seluruh alam kehidupan).
6)    Iddhividhanana (Kekuatan magis ; rubah wujud, menghilang)

d.         Patisambhidapatta (Memiliki 4 macam Patisambhida) :
1)    Attha (Kepandaian mengetahui akibat-akibat)
2)    Dhamma (Kepandaian mengetahui sebab-sebab)
3)    Niruti (Kepandaian didalam menggunakan kata-kata).
4)    Patibhana (Kepandaian didalam cara penyesuaian).