20/10/2016
Manfaat Mempraktikkan Sīla
Buddha menyebutkan lima
manfaat mempraktikkan sīla dalam Maha Parinibbana Sutta (DN. 16),
yaitu (1) mendapatkan kekayaan yang berlimpah melalui usaha yang giat, (2)
reputasi baiknya tersebar luas, (3) penuh percaya diri, (4) meninggal dengan
tenang, dan (5) setelah meninggal terlahir di alam yang baik (alam surga).
Manfaat-manfaat di atas dapat dijelaskan secara rincisebagai berikut.
1. Mendapat
Kekayaan yang Berlimpah melalui Usaha Giat
Walaupun kekayaan
sebenarnya adalah berkah utama dari berdana, tetapi tanpa dukungan dari sīla
dan usaha yang giat, hal ini akan sulit terwujud. Contoh: seseorang yang
rajin menabung jika sering melakukan pelanggaran sīla, suatu saat
mungkin dia akan ditangkap dan dipenjara. Saat berada dalam penjara,
kemungkinan besar dia tidak mempunyai lagi akses pada tabungannya (kekayaannya).
Hal ini bagaikan makhluk yang terlahir di empat alam rendah. Mereka sulit
sekali untuk menikmati hasil dari berdananya karena kondisi tempat hidup yang tidak
mendukung. Mungkin ada yang berkata, buktinya beberapa binatang dapat hidup
dengan mewah (contoh: anjing, kuda, kucing, atau binatang peliharaan lainnya milik
orang kaya).
Hal tersebut tidak dapat
dipungkiri, tetapi jika dibandingkan dengan mereka yang mengalami penderitaan,
jumlah mereka yang dapat menikmati kesenangan sangatlah kecil. Apalagi bagi mereka
yang terlahir di alam neraka, tidak ada kesempatan sama sekali walaupun kecil. Sīla
memfasilitasi seseorang terlahir di alam yang baik, ditambah dengan usaha
yang giat dan kecerdasan, hasil dari berdananya mempunyai kondisi untuk
berbuah. Selain itu, karena sīla-nya baik, banyak orang yang percaya dan
ingin berbisnis dengannya. Dengan demikian, dapat diharapkan kekayaannya akan
cepat meningkat.
2. Reputasi baik tersebar luas
Orang yang menjaga sīlanya
dengan baik dapat diharapkan mempunyai tindak-tanduk dan ucapan yang baik pula.
Orang yang demikian dapat dipastikan akan disukai oleh banyak orang.Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
wajar jika reputasi baiknya tersebar luas. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Buddha kepada Bhikkhu Ānanda saat Bhikkhu Ānanda bertanya kepada
Buddha,
“Apakah ada suatu hal yang harumnya dapat melawan
arah angin, yang dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia?” Buddha menjawab,
“Ānanda, seandainya ada seseorang yang mengambil perlindungan kepada Buddha,
Dharma, dan Sangha, yang melaksanakan pancasīla, yang murah hati, tidak kikir,
orang yang demikian sesungguhnyalah dikatakan sebagai orang yang bermoral dan
layak mendapat pujian. Reputasi orang yang demikian akan tersebar luas, dan
para bhikkhu, brahmana dan semua orang akan memujinya, di mana pun dia berada”
(Dharmapada Atthakatha
54 dan 55).
Buddha juga menjelaskan
bahwa reputasi dari orang yang melaksanakan sīla dengan baik dapat tersebar
hingga ke alam dewa. Dikatakan dalam Makhadeva Sutta (Majjhima Nikaya 83)
bahwa reputasi Raja Nimi yang selalu menjalankan uposatha (delapan) sīla
pada hari ke-8, 14, dan 15 (sistem penanggalan bulan) membuat para dewa
dari alam dewa tingkat dua (Tāvatiṃsa) ingin bertemu dengannya; dan Sakka, sang raja
dewa mengirimkan kereta kudanya yang ditarik oleh seribu kuda unggul untuk
menjemputnya.
3. Penuh Percaya Diri
Seperti yang telah
dikatakan pada penjelasan mengenai ‘reputasi baik tersebar luas’ bahwa
orang yang menjaga sīla-nya dengan baik dapat diharapkan mempunyai tindak-tanduk
dan ucapan yang baik pula. Orang yang demikian dapat dipastikan akan disukai
oleh banyak orang. Oleh karena itu, mereka penuh percaya diri, tidak ada rasa
malu, canggung, ataupun rendah diri dalam bergaul di semua lapisan/kelompok
masyarakat, baik itu kelompok atas (seperti anggota kerajaan, pejabat tinggi,
dan orang-orang kaya), menengah, ataupun bawah. Selain itu, orang yang bermoral
baik, penuh percaya diri karena tidak ada perbuatannya yang dapat dicela oleh para
bijaksana.
4. Meninggal dengan Tenang
Orang yang hidupnya
dianugerahi oleh tiga berkah di atas, kemungkinan besar akan hidup tenang.
Selain itu, orang yang tekun melaksanakan dan menjaga sīla-nya dengan
baik, tingkah lakunya sopan, tutur katanya lembut, disenangi banyak orang,
sedikit (atau bahkan tidak punya) musuh, dan juga akan dipuji oleh para bijaksana.
Dengan demikian, bagaimana mungkin orang yang memiliki kualitas luhur seperti
ini bisa hidup tidak tenang? Mereka pasti hidup dengan tentang. Karena
kemurnian dari moralitasnya, bukan hanya semasa hidupnya mereka penuh dengan
kedamaian dan ketenangan, tetapi kemungkinan besar saat meninggal pun mereka
akan berada dalam keadaan damai dan tenang. Buddha bersabda dalam syair Dharmapada
165,
“Sesungguhnyalah, oleh
dirinya sendirilah kejahatan dilakukan
dan oleh dirinya sendirilah
dirinya tercemar; oleh dirinya
sendirilah kejahatan tidak
dilakukan dan oleh dirinya sendirilah
dirinya termurnikan.
Kemurnian dan ketidakmurnian sepenuhnya
bergantung pada dirinya
sendiri; tak ada seorang pun yang dapat
memurnikan orang lain.”
Selain itu, Buddha juga
memberikan empat kepastian dalam Kesamutti Sutta atau Kalama Sutta (Anguttara
Nikaya 3. 65), “Para murid yang Mulia, Kaum Kalama, yang pikirannya
bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat/kedengkian, bersih dan murni,
adalah dia yang memiliki 4 kepastian di sini dan saat ini.”
Empat kepastian tersebut
adalah seperti berikut.
a. Seandainya ada kehidupan yang akan datang dan
ada buah/hasil dari perbuatan baik atau buruk, adalah hal yang mungkin ketika
meninggal, akan terlahir di alam bahagia, alam dewa/surga.
b. Seandainya tidak ada kehidupan yang akan datang
dan tidak ada buah/hasil dari perbuatan baik atau buruk, tetapi di kehidupan
ini, di sini dan saat ini, saya menjaga diri saya dalam ketenteraman, bebas
dari permusuhan, bebas dari niat jahat/kedengkian, dan masalah.
c. Seandainya buah/hasil dari perbuatan buruk
menimpa pelakunya, saya tidak melakukan perbuatan buruk, bagaimana hasil
perbuatan buruk akan menimpa saya yang tidak melakukannya.
d. Seandainya buah/hasil dari perbuatan buruk tidak
menimpa pelakunya, saya dapat memastikan diri saya murni dalam keadaan apa pun.
Seseorang yang melaksanakan dan menjaga sīla-nya dengan baik, jika dia
teringat atau merenungkan dua wejangan Buddha di atas, dapat dipastikan dirinya
akan menjadi bahagia dan tenang. Walaupun berada dalam keadaan sekarat,
kebahagiaan yang timbul karena telah hidup sesuai dengan Dharma akan membuatnya
tenang dalam segala hal, termasuk saat menghadapi kematian.
Perlu juga diketahui bahwa
salah satu dari empat puluh subjek meditasi ketenangan/konsentrasi (samatha
bhāvanā) ada yang disebut sīlānussati, yaitu perenungan tentang sīla.
Seseorang yang dapat melaksanakan sīla dengan baik akan mudah melakukan meditasi
ini. Hal ini dikarenakan ketika dia merenungkan moralitasnya, dia akan
menyadari bahwa moralitasnya baik sehingga pikirannya akan cepat tenang dan
terkonsentrasi. Jika hal ini terus dilatih dan dikembangkan, dapat dipastikan
dia akan meninggal dengan tenang.
5. Setelah Meninggal Terlahir di Alam yang Baik
Orang yang menjalankan dan
menjaga sīla dengan baik akan mengakumulasi banyak sekali karma baik.
Selain itu, seperti penjelasan sebelumnya, dia akan meninggal dengan tenang. Keadaan
pikiran saat meninggal sangatlah menentukan ke mana seseorang akan dilahirkan kembali.
Seseorang yang meninggal pada saat pikirannya terserang keserakahan (lobha),
dia akan terlahir kembali menjadi hantu kelaparan (peta) atau jin (asura).
Seseorang yang meninggal pada saat pikirannya terserang kebencian/kemarahan (dosa),
dia akan terlahir kembali menjadi makhluk penghuni neraka (niraya); dan yang
terserang kebodohan mental (moha), akan terlahir sebagai binatang (tiracchāna).
Banyak kisah yang
menceritakan tentang kelahiran seseorang di alam bahagia sebagai hasil dari
berlatih Dharma (dana, sīla, dan meditasi). Sebagai contoh kisah Upāsaka
Dhammika dalam Dharmapada Atthakatha 16. Suatu ketika di kota Sāvatthī,
hidup seorang upāsaka yang bernama Dhammika. Dia adalah seorang pria
yang berbudi luhur (bermoral) dan sangat senang berdana. Dia dengan murah hati
memberikan persembahan makanan dan kebutuhan lainnya bagi para bhikkhu secara
teratur dan juga pada hari-hari istimewa. Sesungguhnya, dia adalah pemimpin
dari lima ratus umat Buddha (upāsaka dan upāsikā) yang tinggal di
Kota Sāvatthī. Dhammika mempunyai tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.
Mereka, sama seperti
Dhammika, adalah anakanak yang berbudi luhur dan gemar berdana. Ketika Dhammika
mengalami sakit parah dan sekarat akan meninggal, dia memohon kepada Sangha
untuk datang ke rumahnya dan membacakan beberapa sutta di samping
pembaringannya. Ketika para bhikkhu sedang membacakan Mahāsatipaṭṭhāna
Sutta, enam kereta kuda yang penuh hiasan dari alam dewa dating untuk
mengundangnya pergi ke alam mereka masing-masing. Dhammika memberi tahu mereka
untuk menunggu sebentar karena takut mengganggu pembacaan sutta yang
sedang berlangsung.
Tetapi, para bhikkhu mengira
bahwa Dhammika meminta mereka untuk menghentikan pembacaan suttanya. Maka, mereka
menghentikannya dan pergi meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian, Dhammika memberi
tahu anak-anaknya tentang enam kereta kuda yang sedang menunggunya. Anak-anaknya
menangis karena mengira ayah mereka sekarang menjadi tidak waras. Hal ini dikarenakan
mereka tidak bisa melihat kereta kuda dari alam dewa tersebut. Dhammika kemudian
meminta anaknya untuk mengambil karangan bunga dan bertanya, “Alam dewa manakah
yang harus aku pilih bila hal ini benar adanya?” Mereka memberi tahu ayahnya untuk
memilih alam dewa Tusita.
Dhammika pun memutuskan untuk
memilih alam Tusita dan meminta salah satu anaknya untuk melemparkan
karangan bunga tersebut ke udara. Karangan bunga tersebut tetap menggantung di
udara karena menyangkut di kereta kuda dari alam Tusita. Dhammika pun
kemudian meninggal dan terlahir di alam Tusita. Demikianlah, orang yang berbudi
luhur berbahagia di kehidupan (dunia) ini dan juga di kehidupan berikutnya.
Sang Buddha mengakhiri
cerita tersebut dengan mengucapkan syair Dharmapada 16, “Dikehidupan
ini dia berbahagia, di kehidupan berikutnya dia berbahagia; Seseorang yang
melakukan perbuatan baik, berbahagia di kedua kehidupannya. Dia berbahagia dan
sungguh berbahagia ketika dia melihat kemurnian dari tindakannya.” Selain
yang diuraikan dalam Maha Parinibbana Sutta, manfaat dari mempraktikkan sīla
juga dijelaskan dalam kitab-kitab lainnya. Manfaat tersebut di antaranya seperti
berikut.
6. Tercapainya Keinginan
Dalam Dānūpapatti Sutta
(Anguttara Nikaya 8. 35) Buddha berkata bahwa harapan dari penderma akan
tercapai berkat kemurnian moralitasnya. Buddha dalam satu kesempatan menyatakan
kepada para upāsaka yang sedang menjalani hari uposatha. Beliau
berkata,
“Para upāsaka, sikap kalian
baik, jika kalian mengisi hari uposatha dengan melakukan dana, menjaga sīla,
meredam kemarahan berbaik hati, dan
melaksanakan tugas kalian. Para pria bijaksana di masa lalu memperoleh kemasyhuran
bahkan hanya dari menjalankan separuh hari uposatha”.
7. Menyembuhkan Penyakit
Salah satu kisah dalam Visuddhimagga
yang menceritakan tentang kasus penyembuhan berkat kekuatan kemurnian
pelaksanaan sīla adalah kisah Bhante Sāriputta (VM I,116). Cerita
singkat tentang kesembuhan Bhante Sāriputta adalah sebagai berikut.
Suatu hari ketika Bhante Sāriputta
berdiam di sebuah hutan bersama Bhante Mahā Moggallāna, dia terserang sakit
perut yang parah. Mengetahui hal itu, Bhante Mahā Moggallāna bertanya, “Apa
yang biasanya kamu gunakan untuk mengatasi hal ini sebelumnya?” Bhante Sāriputta
memberitahunya bahwa biasanya ibunya memberikan dia campuran bubur beras dengan
susu murni, ghee, madu, dan gula. “Baiklah teman, bila kita mempunyai karma baik,
besok kita akan mendapatkannya,” kata Bhante Mahā Moggallāna Saat itu, dewa
yang berdiam di pohon dekat mereka tinggal mendengar percakapan mereka dan
berpikir bahwa dia akan membantu mencarikannya. Kemudian, dewa itu pergi ke
rumah salah satu penyokong kedua bhikkhu dan membuat anak laki-laki tertuanya kesurupan.
Dia berkata, “Bila besok
kalian dapat menyediakan bubur susu untuk Thera, aku akan membebaskannya.” Mereka
berkata, “Bahkan tanpa diminta olehmu, kami secara teratur menyediakan kebutuhan
para sesepuh.”
Keesokan harinya, mereka
pun menyiapkan bubur susu dan memberikannya kepada Bhante Mahā Moggallāna yang
sedang mengumpulkan dana makanan (piṇdapāta). Setelah kembali, Bhante Mahā Moggallāna
berkata kepada Bhante Sāriputta, “Ini, temanku Sāriputta, makanlah.” Tetapi
sebelum memakannya, Bhante Sāriputta dengan kekuatan pengetahuan super
normalnya dia mengetahui bagaimana bubur susu tersebut didapat, yaitu atas
desakan dari dewa.
Maka, Bhante Sāriputta
memberitahu Bhante Mahā Moggallāna bahwa makanan tersebut tidak dapat digunakan.
Tanpa berpikir, “Dia tidak memakan makanan yang aku bawa,” Bhante
Mahā Moggallāna langsung menuang bubur susu tersebut ke tanah. Begitu bubur
susu tersebut menyentuh tanah, sakit perut Bhante Sāriputta pun hilang dan tidak
pernah kambuh kembali.
Bhante Sāriputta memberikan
contoh bahwa kemurnian sīla haruslah dijunjung tinggi, sekalipun hidup
sebagai taruhannya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi para bhikkhu, tetapi juga berlaku
untuk semua orang. Kisah sembuhnya sakit perut Bhante Sāriputta menunjukkan bahwa
buah karma baik dari hasil pelaksanaan sīla yang baik sangatlah luar
biasa. Jadi, sudah selayaknyalah setiap orang untuk berusaha menjaga kemurnian sīla-nya
semaksimal mungkin.
8. Landasan bagi Tercapainya Pencerahan
Sebelumnya telah dibahas
beberapa manfaat dari melaksanakan sīla, namun semuanya adalah manfaat
duniawi. Bagian ini dapat dikatakan sebagai manfaat tertinggi dari melaksanakan
sīla karena di sini sīla berperan sebagai landasan bagi
tercapainya sesuatu yang bersifat adiduniawi, yaitu pencerahan. Pencerahan
dicapai bukan hanya tindakan jasmani dan ucapannya saja yang murni, tetapi
pikirannya juga terbebas dari kekotoran mental. Ini dicapai karena selalu
menjaga perhatian murninya (sati - indriya saṃvara sīla)
sehingga pikirannya bagaikan emas yang telah dimurnikan, yang siap dan berada
dalam keadaan yang sangat tepat untuk mencapai tingkat kesucian Arahat.
Hal penting yang perlu diingat di sini adalah sīla berperan sebagai
landasan, tetapi yang membawa tercapainya pencerahan adalah latihan meditasi vipassanā.
(Sumber : Buku pendidikan agama Buddha dan budi pekerti, SMA/SMK kelas XI, kurikulum 2013, KEMENDIKBUD)
Subscribe to:
Posts (Atom)